Sabtu, 16 Agustus 2014

Menkes, Mengatasi Masalah dengan Masalah

            Beberapa hari ini marak beredar berita seputar pro dan kontra terkait Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan sudah disahkan oleh Presiden SBY pada 21 Juli 2014 silam. PP No. 61 tahun 2014 ini sebenarnya adalah PP yang sangat mulia karena mengatur tentang kesehatan reproduksi. Namun, pasal 31 pada PP tersebut banyak mengundang perhatian masyarakat.

            Mari kita lihat isi dari pasal 31 PP No. 61 tahun 2014:
Pasal 31
(1)   Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
            a.      indikasi kedaruratan medis; atau
            b.      kehamilan akibat perkosaan.
(2)    Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Saya pribadi tidak ada masalah dengan pasal 31 ayat 1 poin a tersebut. Jika janin memang membahayakan keselamatan si ibu, maka janin boleh saja digugurkan. Tapi tentu saja saya juga sedikit mengkerutkan dahi ketika membaca poin b-nya. Terlebih lagi dilanjutkan dengan ayat 34 yang berisi:

(1)   Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan, b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Tilik punya tilik ternyata PP No. 61 2014 tersebut merupakan perpanjangan tangan dari UU 36/2009 pasal 75 ayat 1 yang menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan aborsi. Kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.” Bahkan Menteri Agama, Lukman Hakim Syarifuddin, mengatakan bahwa aborsi itu tidak melanggar agama dan sudah sesuai dengan fatwa MUI. “Tetapi tetap harus melewati beberapa syarat dari MUI yaitu sebelum janin memiliki ruh,”katanya.

Namun disisi lain Komisi Perlindungan Anak dan Ibu menyatakan bahwa jangan sampai PP ini bertentangan dengan Pasal 4 UU Perlindungan Anak berbunyi:Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Isi pasal ini kemudian ditegaskan kembali oleh komisioner KPAI bidang kesehatan, Titik Haryati. Menurut Titik, berapa pun usai janin dalam kandungan sudah melakukan proses pertumbuhan. "Sudah ada pertumbuhan jiwa dan roh," ujarnya. Karena itu, apabila melakukan aborsi sama saja dengan membunuh. "Membunuh proses pertumbuhan janin," kata Titik. (Tempo, Kamis 140814).

Dan memang, menurut yang saya pelajari, janin diusia 40 hari (4 minggu) sudah masuk pada tahap embrio. Dan embrio itu terbentuk sudah melalui beberapa fase dari pelepasan ovum, penebalan dinding rahim, pembentukan zigot sampai proses pembelahan dan terbentuknya embrio. Maka sebenarnya proses pengguguran dimasa itu akan dapat melukai sang ibu. Bayangkan saja, memaksa janin yang sudah mulai berkembang untuk meluruh kembali. Bagi para wanita yang mengalami menstruasi, Anda saja terkadang tidak dapat menahan rasa sakit ketika kedatangan tamu bulanan itu. Apalagi mengeluarkan secara paksa. Itu namanya menyiksa diri. Dan juga, siapa yang bisa jamin kapan ruh itu ditiupkan?

Komisioner KPAI Bidang Hak Asasi Manusia khususnya pada anak, Rita Pranawati juga mengatakan aborsi tidak serta merta dilakukan karena calon ibu mengalami trauma dan dampak psikologis akibat peristiwa yang menyakitkan, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi si janin selama kehamilan dan ketika lahir kelak. "Justru di sini pemerintah mengambil peran dalam hal ini kementrian kesehatan dan perlindungan perempuan untuk melakukan advokasi dan pendampingan secara terus menerus terhadap korban perkosaan dan keluarganya untuk perlahan-lahan menghilangkan trauma dan menerima kehamilan sebagai pemenuhan hak asasi manusia untuk lahir," kata Rita. (INILAHCOM, Selasa 120814). Yaaap, exactly right! Seharusnya kita bisa berfikir sepeti ini!

Selain itu menurut saya, PP ini khususnya pasal 31 ayat 1 poin b akan menimbulkan masalah baru. Yang awalnya PP ini dibuat untuk melindungi wanita (katanya), malah akan membuat hubungan diluar perkawinan meningkat hebat. Bagaimana tidak! Setelah memasang iklan kalau HIV dapat dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi, lalu sekarang diberlakukan bahwa korban perkosaan dapat aborsi. Bukankah ini malah memudahkan para remaja dalam berlaku maksiat?

Jika dipikirkan lebih matang, jika janin dalam rahim dibunuh, apakah hati sang ibu yang menggugurkan akan menjadi bahagia? Apakah noda yang pernah membekas akan sembuh total? Jika hanya memikirkan pandangan manusia, tentu saja aborsi menjadi impian para ibu yang tidak menginginkan janinnya dengan mengharapkan nama baik tetap terjaga. Namun, sebagai manusia ber-Tuhan, bukankah membunuh janin juga akan menjadi beban tersendiri karena harus dipertanggung jawabkan dihadapanNya? Think again!

Walaupun demikian, saya bukanlah ahli fiqh yang bisa mengatakan ini halal dan itu haram. Yuuk kita lihat apa kata empat mazhab tentang menggugurkan janin.

Hukum Pengguguran Janin Sebelum Peniupan Ruh
Beberapa madzhab fiqh berselisih pendapat tentang hukum menggugurkan janin yang usianya belum mencapai empat bulan atau belum ditiupkan ruh kepadanya. Banyak sekali perbedaan pendpat yang ada di antara madzhab-madzhab itu, bahkan antar ulama’ dalam satu madzhab pun juga berselisih pendapat yang ada , hingga kami melihat adanya banyak pendapat di dalam setiap madzhab. Mungkin yang menyebabkan adanya perbedaan madzhab itu adalah tidak adanya batasan tertentu untuk berpendapat dalam madzhab-madzhab tersebut, apalagi seperti yang saya sebutkan, tidak adanya nash-nash syari’at yang secara langsung membahas masalah ini.
Di dalam bagian ini, kita akan mengemukakan pendapat-pendapat setiap madzhab dan menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat:
Madzhab Hanafi
1.      Para fuqaha dari madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan janin sebelum peniupan ruh, jika mendapat izin dari pemilik janin, yaitu kedua orang tuanya. Kebanyakan argumen yang mereka kemukakan tentang bolehnya menggugurkan janin sebelum peniupan ruh ini, karena senelum peniupan ruh, belum terjadi penciptaan apapun pada janin, baik sebagian atau keseluruhan. Dan munculnya gambaran yang sempurna pada janin menunjukkan bahwa janin tersebut telah ditiupkan roh kepadanya. Ibnu al-Hammam berkata, “Bolehkan menggugurkan janin setelah kehamilan?Diperbolehkan selama belum terbentuk apa pun pada janin.” Kemudian di tempat lain beliau berkata, “Hal itu tidak terjadi kecuali setelah janin berusia seratus dua puluh hari, karena pada saat itu penciptaan telah sempurna dan siap ditiupkan roh. Jika tidak demikian, berarti pendapat mereka salah. Karena penciptaan benar-benar telah terjadi dan dapat disaksikan dengan indera sebelum fase ini.” (Syarh Fath al-Qadir, juz. II, hal. 495.)
Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha madzhab ini berkata, “Diperbolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah setelah janin berusia seratus dua puluh hari. Mereka membolehkannya sebelum waktu itu, karena janin itu belum menjadi manusia.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. I, hal. 302). Kemudian Ibnu Abidin mengatakan, “Tetapi pendapat ini dipermasalahkan di dalam kitab al-Bahr, bahwa pembentukan janin telah terjadi sebelum fase itu dan dapat disaksikan dengan jelas serta selaras dengan beberapa riwayat yang shahih, “ Jika janin telah melalui dua kali empat puluh hari (80 hari) maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya lalu membentuknya, menciptakan pendengaran, penglihatan, dan kulitnya,” dan ini juga sesuai dengan apa yang ditemukan oleh para dokter.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. I, hal. 302).
Dari beberapa teks fiqh di atas, tampaklah bahwa pada hakikatnya madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh dan sebelum pembentukan dan pencipataan menurut sebagian mereka. Sekalipun mereka salah dalam menetapkan awal waktu penciptaan, namun pendapat menera saling membenarkan satu sama lain.
Tampak pula bahwa para fuqaha madzhab Hanafi ini membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh baik itu karena ada halangan ataupun tidak. Mereka telah mengungangkapkan masalah ini secara muthlak tanpa embel-embel. Akan tetapi mereka mensyaratkan kebolehannya, yaitu tidak melanggar hak kedua orang tuanya, artinya tidak boleh bagi orang luar untuk menggugurkan kandungan seorang isteri kecuali atas izinya dan izin suaminya. Karena bila itu dilakukan berarti telah melakukan penganiayaan kepada sang ibu, sehingga yang berangkutan bisa dihukum dengan hukuman yang ditetapkan oleh hakim namun tdak harus menggantinya dengan budak. Karena penggantian dengan budak tidak diwajibkan kecuali bila seorang menggugurkan janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya. Begitu juga jika isteri menggugurkan janin tidak seizing suaminya, maka dia berdosa dan harus memberi ganti rugi, karena suami juga mempunyai hak terhadap janin tersebut walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Akan tetapi pengharaman di sini bukannya karena membunuh janin itu sendiri, melainkan karena melanggar hak orang lain tanpa seizinnya. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).
2.      Ibnu Abidin menukil dari beberapa ahli fiqh dalam madzhab Hanafi, bahwa mereka mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, karena jani pada masa ini merupakan bakal manusia yang nantinya akan menjadi manusia atas kehendak Allah. Seperti seorang yang sedang ihram, ia tidak boleh memecahkan telur binatang buruan dan bila itu dilakukan, maka tetap akan mendapatkan hukuman, karena telur itu bakal binatang buruan. Begitu juga orang yang merusak bakal manusia. Mereka mengatakan, “Saya tidak mengatakan bahwa seorang ibu yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh itu tidak berdosa, tetapi dosa yang diterimanya tidak sebesar dosa yang diakibatkan pengguguran janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya.” Namun demikian, kelompok ini membolehkan pengguguran kandungan karena adanya alas an yang diterima. Di antara udzur (alas an) yang bisa diterima itu adalah terputusnya susu ibu setelah muncul kehamilan, dan kedua orang tua bayi itu tidak mampu menyusukannya kepada orang lain sehingga takut anaknya mati. “ (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).
3.      Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh hukumnya boleh tetapi makruh. Karena setelah ziqot menempel pada dinding rahim, dia adalah hidup.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).

Madzhab Maliki
Para ulama madzhab Maliki berselisih pendapat tentang hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu bisa kita klasifikasi sebagai berikut.
1.      Para ulama mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah air mani berada di dalam rahim. Syaikh Ahmad ad-Dardir berkata, “Tidak boleh mengeluarkan mani yang telah tertanam di dalam rahim walaupun sebelum berusia empat puluh hari. “(Asy-Syarh al-Kabir Ma’a Hasyiah ad-Dasuqi, juz. II, hal. 267).
Syaikh Alaisy berkata, “Jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh bagi suami isteri ataupun salah satu dari mereka untuk menggugurkan janinnya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan. “ (Fath al-Ali al-Malik, juz. I, hal. 399). Dinukil dari pendapat Ibnul Arabi: Seorang anak mempunyai tiga keadaan:
Pertama, keadaan sebelum adanya pencampuran antara sperma dengan ovum yang digugurkan dengan melepasnya di luar rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.
Kedua, keadaan setelah rahim nenangkap sperma, maka pada saat itu tidak boleh seeorang pun untuk menggugurkannya. Seperti yang dilakukan oleh para pedagang murahan yang menjual ramuan-ramuan tertentu yang jika diminum, ziqot itu akan keluar dari rahim, sehingga gugurlah kandungannya.
Ketiga, keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan ruh, maka ini lebih tidak diperbolehkan untuk digugurkan. Adapun setelah peniupan ruh, maka tidak diperselisihkan lagi, ini termasuk pembunuhan. (Fath al-Ali al-Malik, juz. I, hal. 400; Hasyiyah ar-Rahwani ala Syarh az-Zarqani, juz III, hal. 264).
Kemudian Syaikh Alaisy berkata; “Jika saya berpijak dari pendapat al-Qadhi al-Muhaqqiq Abu Bakar di atas, maka saya tahu secara pasti bahwa kesepakatan suami isteri untuk menggugurkan kandungan hukumnya haram, tidak diperbolehkan dalam bentuk apapun. Dan Ibu yang menggugurkannya harus mengganti dengan budak dan mesti diberi peralatan. Kecuali jika suaminya yang menanggung dalam membebaskan budak tersebut.” (Fath al-Ali, al-Malik, juz. II, hal. 400).
Walaupun demikian, dari tulisan para ulama madzhab Maliki yang mengharamkan pengguguran kandungan dari fase perkembangan ke fase berikutnya di atas dapat dipahami bahwa keharamannya itu bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan umur janin hingga akhirnya pengguguran kandungan itu dianggap pembununuhan setelah peniupan ruh. Ini bisa kita lihat dari penjelasan Ibnul Arabi di atas, begitu juga yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi berikut; “Jika sperma telah berada di dalam rahim, maka tidak boleh dikeluarkan dan lebih tidak boleh lagi ketika janin sudah ditiupkan ruh kepadanya.” (Fath al-Ali, al-Malik, juz. II, hal. 400). Begitu juga istihsan yang dikeluarkan oleh Ibnu Rusyd al-Maliki tentang tidak wajibnya mengganti dengan budak bagi orang yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh. Dia berkata; “Mereka berselisih pendapat dalam masalah ini, yaotu tentang ciptaan yang harus diganti dengan budak. Imam Malik berkara, “Setiap mudhgah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah) yang digugurkan dan diketahui bahwa dia bakal menjadi anak, maka pelakunya harus menggantinya dengan budak,” dan Imam Syafi’i berkata, “Tidak diwajibkan mengganti apa-apa hingga janin mempunyai bentuk,”. Dan yang paling benar adalah diwajibkan mengganti dengan budak bila menggugurkan janin yang telah ditiupkan ruh.” (Bidayah al-Mujtahid, juz. II, hal. 416).
2.      Sebagian fuqaha Malikiyah memakruhkan pengguguran kandungan setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia empat puluh dari dan menharamkannya sesudah itu. (asy-Syarh al-Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi, juz. I. hal. 267).
3.      al-Lakhami selah seorang ulama Malikiyah berpendapat, bahwa menggugurkan janin sebelum berusia empat puluh hari hukumnya boleh dan tidak harus mengganti apa-apa. (Hasyiyah ar-Rahwani ala Syarh az-Zarqani, juz. III. Hal. 264 dan Fath al-Ali, al-Malik, juz. I, hal. 399.
4.      Sebagian fuqaha Malikiyah berpendapat, diberi rukhshah (keringanan) untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut akan dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil. (Fath al-Ali, juz. I, hal. 399).
Dari pendapat para ulama madzhab Maliki ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin telah berusia empat puluh hari. Sedangkan sebelum janin berusia empat puluh hari, mayoritas ulama mereka mengharamkan, ada senagian yang memakruhkan, al-Lakhami membolehkan, dan sebagian yang lain memberikan rukhshah jika dilakukan sebelum peniupan ruh, jika janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.

Madzhab Syafi’i.
Para fuqaha madzhab Syafi’i, berselisih pendapat dalam menetapkan hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, yang dapat kita klasifikasikan menjadi beberapa pendapat berikut:
1.      Pendapat pertama –yang paling dipegang oleh madzhab ini-, bahwa menggugurkan kandungan selama janin belum ditiupkan ruh kepadanya adalah boleh. Syaikh Qalyubi berkata, “Ya, boleh menggugurkannya walaupun dengan obat sebelum peniupan ruh pada janin, sebagai sanggahan atas pendapat al-Ghazali. “ (Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Muhalla ala al-Minhaj, juz. III, hal. 159, 160). Ar-Ramli berkata di dalam Nihayah al-Muhtaj, setelah menyebutkan pendapat al-Ghazali yang mengharamkan pengguguran kandungan, “Yang benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara muthlak dan dibolehkan sebelumnya.” (Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz. VIII, hal. 416).
2.      ar-Ramli juga sampai kepada suatu kesimpulan, yang akhirnya menjadi pegangan bagi madzhab ini, yaitu memakruhkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh dan mengaharamkannya setelah memasuki waktu yang telah mendekati peniupan ruh. Karena sulitnya mengetahui secara pasti waktu peniupan ruh tersebut, maka diharamkan penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan ruh untuk berjaga-jaga, seperti ketika peniupan ruh dan sesudahnya. Di dalam an-Nihayah, dia mengatakan, “Telah dikatakan bahwa sejak peniupan ruh, sesudahnya dan hingga dilahirkan –tidak diragukan lagi- adalah haram hukumnya. Adapun sebelum peniupan ruh tidak diharamkan, sedangkan waktu yang mendekati waktu peniupan ruh, diperselisihkan antara boleh dan haram, namun yang rajih (kuat) adalah diharamkan, karena itu adalah waktu yang mendekati waktu keharamannya.” (Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz. VIII, hal. 416). Mungkin pendapat ini adalah pendapat yang ar-Ramli sendiri concong kepadanya, dan bukan pendapat yang dianut di dalam madzhab. Jika tidak tentu dia sudah mengatakan pada saat itu pula setelah menukil pendapat al-Ghazali dan pendapat-pendapat ulama lain, “Pendapat yang benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara muthlak dan diperbolehkan sebelumnya.” Dari sini, maka jelaslah bahwa pendapat yang rajih (kuat) menurut madzhab ini adalah pengguguran janin sebelum peniupan ruh diperbolehkan, sedangkan ketika usia janin sudah mendekati waktu peniupan ruh makruh hukumnya, sedangkan setelah peniupan ruh haram hukumnya. Demikian yang dijelaskan di dalam kitab Hasyiyah al.Jumal. (Hasyiyah al-Jumal ala Syarh al-Manhaj).
Mungkin dari pendapat inilah Syaikh Qalyubi menukilnya dari beberapa ulama madzhab Syafi’i, bahwa menggugurkan kandungan pada masa ‘alaqah (segumpal darah) dan nutfah (ziqat) diperbolehkan dan diharamkan jika setelah itu, seperti yang dikatakan di dalam Hasyiyahnya. Al-Karabisi berkata, “Saya bertanya kepada Abu Bakar Sa’id al-Furati tentang seorang laki-laki yang memberi minum seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya, lalu beliau menjawab, “Selama janinnya masih dalam keadaan ziqot atau segumpal darah, insya Allah diperbolehkan.” (Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Muhalla ala Minhaj, juz. V, hal. 490).
Demikian juga al-Bayjirami menukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ia berkata, “Diperbolehkan menggugurkan janin yang masih berupa ziqot dan segumpal darah. Pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah.” (Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, juz. III, hal. 303.
Berdasarkan pendapat ini, maka pengguguran kandungan yang sudah menjadi mudgah (segumpal daging) atau pada empat puluh hari sebelum peniupan ruh, hukumnya haram. Pembahasan inilah yang dimaksudkan oleh ar-Ramli dalam pernyataannya.
3.      Imam Abu Hamid al-Ghazali mengharamkan pengguguran janin pada semua fase perkembangan kehamilan dan dengan terus terang dia mengatakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelum peniupan ruh, haram untuk digugurkan. Kita sebutkan di sini argumennya di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin untuk menambah kesempurnaan pemahaman. Setelah membolehkan penumpahan air mani di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, dia berkata; “Penumpahan air mani di luar rahim bukan termasuk pengguguran dan pembunuhan, karena pengguguran adalah kejahatan terhadap wujud manusia dan wujud ini bertingkat-tingkat. Tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air mani tumpah di dalam rahim dan bercampur denga ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan. Merusak wujud ini adalah kejahatan dan jika sudah menjadi segumpal darah dan segumpal daging, maka kejahatan itu lebih keji, dan jika telah ditiupkan ruh dan telah menjadi ciptaan yang sempurna, maka kejahatan itu bertambah keji lagi, dan kejahatan terkeji dalam hal ini adalah jika melakukan pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan. Menurut kami, bahwa sebab awal terjadinya wujud ini adalah karena masuknya air mani ke dalam rahim, bukan karena dia keluar dari saluran kencing. Karena anak tidak tercipta dari air mani laki-laki semata, melainkan dari kedua suami istri. Maka bagaimana pun, ovum perempuan merupakan salah satu factor bagi terjadinya wujud ini, sehingga kedua air itu (sperma dan ovum) secara hukum berjalan seperti jalannya ijab dan qabul di dalam akad jual beli. Barangsiapa yang melakukan jual beli, kemudian dia menarik kembali tawarannya sebelum terjadi penerimaan tawaran, maka hal itu tidak termasuk merusak akad jual beli, namun jika akad ijab dan qabul telah terjadi, maka jika digagalkan berarti telah merusak akad, membetalkan dan menggugurkannya. Begitu juga dengan air mani di dalam kantong sperma tidak akan menjadi anak, begitu juga setelah keluar dari saluran kencing, selama belum bertemu ovum wanita. Ini adalah analogi yang jelas.” (Ihya Ulumiddin, juz II, hal. 53).
Pendapat yang oleh al-Ghazali ini berpengaruh terhadap sebagian ulama Syafi’iyah yang datang sesudah al-Ghazali. Mungkin apa yang saya nukil dari ar-Ramli di atas yang memakruhkan pengguguran kandungan empat puluh hari sebelum peniupan ruh itu, merupakan salah satu dari adanya pengaruh tersebut. Begitu juga yang dinukil oleh Qalyubi dari beberapa ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan pengguguran janin pada fase ziqot dan segumpal darah, dan mengharamkannya setelah itu, atau pada fase segumpal daging, karena dekatnya masa itu dengan masa peniupan ruh.
4.      Mungkin perlu disebutkan bahwa tidak ada satu pun ulama madzhab Syafi’i yang melarang untuk menggugurkan janin sebelum peniupan ruh jika kehamilan itu merupakan hasil dari zina yang pada wanita. (Nihayah al-Muhtaj, juz. VIII, hal. 416; Hasyiyah al-Jumal, juz. V, hal. 491; Tuhfah al-Habib, juz III, hal. 303).
Akan tetapi pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang kuat di dalam madzhab ini, sehingga mereka membolehkan secara muthlak dan apabila ada udzur. Akan tetapi mungkin tujuan para ulama itu adalah mensyaratkan bagi orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan dari ulama madzhab ini, bahwa memang pengguguran itu tidak diperbolehkan jika tidak ada alas an yang rasional, namun jika ada lasan yang rasional, maka semuanya membolehkan. (Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, juz. III, hal. 303.

Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, ada beberapa pendapat tentang hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh.
1.      Pendapat mereka secara umum dalam madzhab, membolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin, yaitu fase ziqot, yang usianya maksimal empat puluh hari dan setelah empat puluh hari tidak boleh digugurkan.
Sebagian kelompok dari ulama mereka mengatakan bahwa boleh meminum obat untuk menggugurkan ziqot. (al-Inshaf, juz. I, hal. 386, al-Furu’, juz. VI, hal. 191). Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Sahabat-sahabat kami secara terus terang mengatakan, bahwa jika janin telah menjadi segumpal darah tidak diperkenankan bagi wanita untuk menggugurkannya, karena dia sudah menjadi anak, lain halnya dengan ziqot, karena dia belum menjadi anak.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 46).
2.      Ibnul Jauzi berpendapat mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh di semua fase perkembangan janin. Demikian yang dinukil al-Mawardi darinya.” (al-Inshaf, juz. I, hal. 386).
3.      Sebagian ulama’ Hambali membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara muthlak tanpa mensyaratan fase-fase tertentu. Hal ini dinukil oleh penulis kitab al-Furu’ dari Ibnu Aqil dan ia berkata seperti itu. (al-Inshaf, Juz. I, hal. 386). Di antara ulama madzhab Hambali yang juga berpendapat seperti itu adalah Yusuf bin Abdul Hadi yang berkata, “Boleh meminum obat untuk menggugurkan janin yang sudah menjadi segumpal daging.”

Well, beberapa pandangan telah kita buka disini. Sekarang terserah pribadi masing-masing saja bagaimana ingin berpikir dan bertindak. Hanya pesan saya, kita sebagai perempuan memang diamanahkan untuk menjaga rahim kita dengan baik begitupun apa yang kita hasilkan dari rahim tersebut. Maka, marilah kembali ke jalan yang baik dan benar. Perbanyak menuntut ilmu terutama dalam hal keagamaan karena itu merupakan modal kita dalam menjalani kehidupan.
Bagi para pejabat, saya hanya berharap dapat membuat sebuah keputusan yang tidak akan menimbulkan masalah lain. Satu-satunya hal yang ingin kita perbaiki di negeri tercinta ini adalah moral manusianya, tidak terkecuali ibu dan bapak para pejabat negara. Karena menduduki posisi di negara kita ini bukan hanya soal kepintaran akademik, tapi juga harusnya karena kesholehan, kejujuran, dan kepiawaian berpikir dalam menyelesaikan permasalahan bangsa melalui prespektif agama.
Sekian dan terima kasih.




Referensi

Jumat, 28 Maret 2014

KAMMI-ku Remaja

Aaah... Kau sudah remaja ternyata
Kau ingat saat ayah mengajarimu berjalan?
Ingat saat ibu menyuapimu dengan makanan lezat?
Masit terbayangkah saat kau dapat banyak perhatian?


Sekarang..
Kau sudah jadi pusat perhatian
Pesonamu kau terbar keseluruh jagat
Banyak hati yang kau pikat
Banyak mata yang kau cegat
Banyak cinta yang kau dapat

Aaahh.. kau sudah remaja ternyata..
Kau jalin hubungan dengan banyak pihak
Kau toreh sejarah di banyak media
Kau goda mahasiswa di tiap acara

Tapi, perjuangan tak jua berkurang
Gas kau pacu sekencang kilat
Kadang tersesat dan harus balik arah
Kadang berlaga dan kau harus perbaiki sikap

Perjuangan tak akan kenal lelah
Kau pancang kokoh pundak sang penopang
Kau rasuk akal dengan ilmu menghujam
Kau sabar bangun ruhiyah mengakar
Kemudian kau kan tuai hasil gemilang

Selamat ulang tahun sang gagah
Kau sudah 16 tahun sekarang
KAMMI ku sudah remaja ternyata
KAMMI ku harus lebih baik mulai sekarang

 














Selamat ulang tahun sang gagah
Dirgahayu ke-16 untukmu kawan!

Jumat, 10 Januari 2014

SUPER MOTIVASI

By: Supandi

Ini tentang pesan saya ke beberapa tim personil dakwah kampus sekitar 2 tahun yang lalu. Dan seminggu yang lalu pesan ini masih terarsip oleh seorang personil dan beliau kembali mengirimkannya ke saya.

Menurut saya masih relevan untuk di posting dalam bentuk message publik ke aktivis dakwah melalui facebook dengan sedikit editan...

"Tidak cukup hanya menjadi orang baik saja untuk berdakwah."


Berikut cara agar dakwah cepat menyentuh dan berkembang.

Pertama: Ruhiyah Melejit dan Konsisten (minimal kita punya standar ibadah sunnah, tilawah dan qiyamul lail yang gencar. Kalau yang wajib, tata cara sholat yang harus disempurnakan. Malamnya tambah lagi dengan penghayatan QL). Penjelasan singkatnya gini: Kalau kita mantap secara ruhiyah, ada fenomena bahwa pesona diri bertambah. Tindakan dan lisan kita, cepat menyentuh dengan objek dakwah. Gak dibuat2.

Kedua: Kita harus berpengaruh dikalangan objek dakwah. Ini bisa dibuat dengan cara memperbaiki kemauan kuat kita melakukan sesuatu. Ana ambil contoh mudah. Ana pernah mengalami manajemen kuliah yang hancur. Nah, kalau kita ngomongin kuliah dengan berbagai teori2 mantap tentang kuliah sukses dan bla-bla, tapi tak pernah dilihat sekliling kita, sampai kapanpun mereka ga bakal percaya kita bagus akademiknya. Gitu juga sebaliknya. Inilah implikasi dari: "bekerjalah kamu niscaya Allah dan.... melihat kamu."
Perintahnya bekerja. Bekerja sudah dlm bentuk tindakan. Sedang kemauan kuat itu akan jadi tindakan selama kita fokus terhadap pekerjaan kita, "dakwah." Titik fokus inilah yang buat kertas bisa terbakar oleh cermin. Gitu juga dengan dakwah. Kefokusan kita harus bisa membakar semangat objek dakwah. Ini namanya pengaruh. Gak ada pengaruh, kerjaan lamban. Biasa2 aja, padahal banyak lagi tugas dakwah.

Ketiga: Kapasitas bacaan dan kemampuan membaca situasi kekiniaan dakwah.
Untuk membaca, ini juga ada seninya. Bacalah situasi kekiniaan dakwah, amati. Pikirkan dengan keras, kenapa, kenapa, kenapa kondisinya gini? Lalu, lanjut dengan kesimpulan kita. Membaca buku dan cari yang kafa'ah tentang kesimpulan itu. Efeknya gini, kita sudah lebih dulu mengerti/mendeteksi tiap kondisi dakwah. Urusan selsai atau ga, masalahnya nanti dulu. Yang penting kita sudah tularkan kepada yang lain. Ini amal jama'i. Tapi, jangan nyantai2 aja, ga cari formulanya. Gawat nanti kalau dibiarkan.

Keempat: tingkatkan leadership ikhwan/akhwat. Ini juga ga kalah pentingnya. Alasannya gini, semakin kita bisa merangkul yang lain dengan beragam karakter, dakwah akan semakin dinamis. Tinggal ambil aja hikmah dari setiap karakter. Toh, hikmah milik kita umat Islam. Kalau potensinya semuanya ga tergali, gimana mau dinamis. Yang ada, jadi superman. Ini ga bgus.
Untuk leadership, dahulukan untuk mendengar dan hayati apa yg buat dia semangat. Langsung kuatkan..dan solidkan dengan kedekatan emosional.

Wallahu'alam.
Jazakumullah khairan

Jumat, 27 Desember 2013

Songsong Semangat Dakwah!!

Bismillahirrohmanirrohim..

"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tak begitu jauh, pastilah mereka mengikutimu; tetapi yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan nama Allah, "Jika kami sanggup, tentulah kami berangkat bersama-samamu." (At-Taubah: 42)

Ayat di atas merupakan teguran terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang pada Perang Tabuk dengan berbagai macam alasan yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan. Mari bercermin pada kondisi dakwah saat ini yang mengalami fenomena persis atau hampir sama dengan kejadian Perang Tabuk. Dengan banyak alasan seorang insan tidak mau bergabung dalam gerakan dakwah. Dengan berbagai alasan seorang aktivis dakwah membenarkan ketidak terlibatannya lagi dalam medan dakwah. Mulai dari alasan akademik, maisyah, sampai alasan kecewa yang kalau diteliti hanya merupakan masalah kecil yang bisa diselesaikan secara harmoni.

Kejadian ini berawal keitka kita memposisikan diri kita sebagai pohon yang mengikuti arah angin bertiup. Kemana arah angin, maka kesanalah ia condongnya. Tidak mampu berdiri diatas prinsip hidup yang tinggi. Hal ini membuat seorang kader hanya berorientasi kepada kerja-kerja yang akan menguntungkan dirinya. Jika kerja itu tidak menguntungkannya, maka ia bisa saja mundur teratur dan bahkan memusuhi dakwah itu sendiri.

Fenomena yang kerap terjadi saat ini adalah kesenangan kader pada jabatan dan popularitas. Tidak sedikit terlihat orientasi yang sedikit bergeser akibat sebuah jabatan yang menjanjikan. Atau mungkin ketika sudah mendapatkan kepopuleran nama, malah membuat dirinya berbeda. Sayang, ini terjadi dan melanda para kader dakwah diberbagai level pergerakan.

Fenomena lain adalah kecintaan terhadap dunia. Begitu banyak kita lihat teman-teman kita yang enggan bergabung dalam gerakan dakwah ini akibat anggapan akan beratnya jalan ini. Apalagi pada kenyataannya, kerap sekali para aktivis dakwah mendapat ujian yang tak selesai-selesai dalam hidupnya.

Kembali kita renungkan tentang azzam kita yang mengakar diawal keikutsertaan kita dalam jalan panjang ini. Sebuah pengakuan bahwa diri ini sudah kita jual kepadaNya untuk menegakkan panji-panji agama Islam demi berdiri kokohnya sistem Islam di dunia. Maka ikhlaskan lah kawan! Ikhlaslah bahwa waktu, pikiran, tenaga, bahkan jiwa kita akan disita oleh kerja-kerja berat demi cita-cita mulia. Banggalah menjadi pengusung dakwah yang akan menjadikan Islam sebagai cara berpikir, berprilaku, dan bermasyarakat kita.

Sadari pula bahwa gerakan dakwah yang diusung ini tidak akan berdiri tegak oleh perjuangan seorang saja. Dakwah membutuhkan kesatuan mujahid-mujahid yang siap bersama dalam suka maupun duka. Siap bersama dalam sehat maupun luka. Jangan sampai nila memecah persatuan.

Kembali songsong semangat dakwah, karena jalan kita masih panjang.
Untukmu rekan seperjuangan..
Salam cinta!!

Senin, 23 Desember 2013

Kader KAMMI se-Kota Medan Harus Evaluasi Besar!

Desember kali ini adalah bulan dengan jadwal terpadat untuk agenda-agenda anak KAMMI baik ditingkat komisariat maupun daerah. Pasalnya, akhir perkuliahan merupakan waktu yang tepat untuk melaksanakan beberapa kegiatan seperti Musyawarah Komisariat ataupun Dauroh Marhalah 1. Belum lagi suplemen yang diberikan oleh beberapa departemen di KAMMI Medan seperti Dauroh Kehumasan (DK) dan Rapat Koordinasi (RaKoorda) Departemen Kebijakan Publik..

Begitu banyaknya agenda yang mungkin membuat kader lelah, bingung, ataupun menjadi ogah saja. Tapi yang namanya kader dakwah apalagi sudah Anggota Biasa II, sudah semestinya lihai meletakkan skala prioritas di dalam dirinya..

Ada beberapa hal yang ingin dikoreksi dari agenda-agenda besar bulan ini..
Pertama, tentang komitmen melaksanakan amanah. Banyaknya agenda di atas wajar saja ketika seorang biasa akan sulit membedakan mana yang prioritas pertama, kedua, dan seterusnya. Namun, label sebagai seorang kader harusnya sudah mampu menuntaskan masalah itu. Amanah-amanah yang diberikan sesungguhnya sudah melalui proses yang panjang ketika akan meletakkan seseorang pada amanah itu. Tinggal pemegang amanah saja yang kemudian memiliki hak penuh untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Bercermin dari Dauroh Marhalah 1 di dua komisariat yang kelimpungan karena instruktur akhwatnya tidak ada yang muncul. Padahal setelah menanyakan kejelasan tentang pengamanahan instruktur di DM1 bersangkutan, Korps Instruktur Daerah KAMMI Medan menyatakan "sudah" mengamanahkan kepada 5 orang di setiap DM. Lalu, dimana letak kesalahannya? Masih ingatkah kita bahwa DM1 itu adalah gerbang awal terbentuknya muslim negarawan baru? Lalu kenapa kita tidak menjalankan amanah dengan baik dan dengan gampang saja meninggalkannya? Ingatlah kembali kawan, sesungguhnya kami yang di bumi ini tidak akan menuntut apa-apa darimu. Bahkan kami mudah saja sebenernya menggantikan dirimu untuk melakukan amanah itu. Tapi ingatlah bahwa pertanggung jawaban sebenar dan seadil-adilnya hanyalah di tangan Allah subhanahu wa ta'ala.. Satu lagi yang buat sedap-sedap ngeri adalah tertundanya pembukaan Dauroh Marhalah 1 di salah satu komisariat karena tidak ada instruktur ikhwan yang bisa menerima penyerahan berkas dari panitia. Terbersit pemikiran untuk menerima langsung berkas oleh instruktur akhwat, tapi mundur kembali karena mengingat beberapa teguran yang pernah dilayangkan kepada seorang akhwat yang dengan PDnya berdiri pada forum ikhwan-akhwat.

Kedua, forum malam tanpa musyrif. Sebenernya penulis sendiri tidak mempunyai hak untuk menjudge yang satu ini. Karena dibeberapa forum malam, penulis juga terjebak pada kondisi ini. Seperti kawanan burung yang harus mengikuti pola terbang yang terbentuk karena meninggalkan rekan terbang sama saja tersesat sendirian. Allahu'alam.. Walau kadang rasanya ingin pergi saja tidak ingin di forum, namun entah hambatan apa yang membuat kaki tidak melangkah. Teringat kembali ketika masih menjadi peserta di beberapa dauroh, musyrif tidak ada itu seperti bencana besar. Tepat pukul 6 sore teng, sebagai akhwat, harus meninggalkan lokasi dauroh ke tempat yang lebih kondusif atau minimal tidak boleh keluar kamar lagi. Kalau keluar pun harus ditemani kakak-kakak instruktur. Saat ini, hal ini jarang sudah terjadi. Bahkan sudah seperti kebiasaan saja karena tuntutan agenda yang padat. Jika tidak dilakukan, maka tidak selesailah agenda tersebut. Mungkin ini menjadi alasan pertama dan mendasar kenapa forum malam tanpa musyrif tetap dilakukan.

Ketiga, ketsiqohan kader menjadi yang direkomendasikan sebagai peserta. Dauroh Kehumasan dan Rakoorda DKP adalah dua agenda besar yang harus menjadi evaluasi besar terhadap kader yang sebenarnya sangat disesalkan oleh penulis. Dauroh Kehumasan yang hampir saja dibatalkan karena peserta tidak mencukupi pemenuhan jumlah minimal pelaksanaan dauroh (15 orang) membuat instruktur betul-betul berusaha keras menarik kembali kader-kader yang bisa ditarik walaupun sebelumnya ia bukanlah kader yang direkomendasikan. Lalu, agenda Rakoorda DKP yang hanya dihadiri 6 komisariat dari 11 komisariat yang ada. Sebagai orang yang terjun lansung ke komisariat, saya sendiri bingung akan mulai darimana mengevaluasi ini. #KokBisa! Sejatinya agenda-agenda itu bertujuan menghimpun kembali kekuatan persatuan kita antar KAMMI komisariat dan KAMMI daerah. Menyamakan gerak langkah demi massifnya gerak kita. Lalu apa yang terjadi? Perjalanan setiap dari komisariat pun tidak selalu bisa disamakan langkahnya. Bukan karena kondisi komisariat, namun kondisi kader-kadernya yang tidak menghadiri acara-acara seperti ini.

Semoga sedikit tulisan ini bisa menjadi motivasi kita untuk terus memperbaiki langkah kita. Amal jama'i bukan hanya dalam komisariat saja atau daerah saja. Dari komisariat sampai ke pusat merupakan satu jama'ah besar yang harusnya amal jama'i menjadi salah satu pegangan kita untuk bisa melangkah bersama.

Allahu'alam bisawwab..
Semoga kita selalu dekat dalam pengampunan oleh-Nya..

Wassalam...

Rabu, 20 November 2013

Senin, 24 Juni 2013

GENERASI MANUT-MANUT WAE!

Dimana perjuangan itu kawan?
Saat dunia semakin panas membakar..
Saat semua isi dunia ingin saja ditumpahkannya..
Saat dunia di porak-poranda oleh kezhaliman..

Dimana perjuangan itu kawan?
Ketika semua terasa tak bersahabat..
Ketika kehidupan berjalan tidak stabil..
Ketika banyak penderitaan yang harus kau saksikan.

Dimana perjuangan itu kawan?
Walau tangis menjerit merintih..
Kau tetap saja bersembunyi disana..(manut wae)
Menutup mata dan telinga..(manut wae)
Mencoba acuh atas segala peristiwa..

Bangkit kawan!
BANGKIT!!
Ini saatnya perjuanganmu kau tunjukkan..
Untuk kesejahtaraan yang diharapkan mereka..
Untuk tersampainya cita-cita mulia..




efek*BBM naik*SPP Tunggal*RUU Ormas*