Beberapa
hari ini marak beredar berita seputar pro dan kontra terkait Peraturan Pemerintah
nomor 61 tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan sudah disahkan
oleh Presiden SBY pada 21 Juli 2014 silam. PP No. 61 tahun 2014 ini sebenarnya
adalah PP yang sangat mulia karena mengatur tentang kesehatan reproduksi.
Namun, pasal 31 pada PP tersebut banyak mengundang perhatian masyarakat.
Mari
kita lihat isi dari pasal 31 PP No. 61 tahun 2014:
Pasal 31
(1)
Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis; atau
b.
kehamilan akibat perkosaan.
(2)
Tindakan aborsi akibat
perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan
apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung
sejak hari pertama haid terakhir.
Saya
pribadi tidak ada masalah dengan pasal 31 ayat 1 poin a tersebut. Jika janin
memang membahayakan keselamatan si ibu, maka janin boleh saja digugurkan. Tapi
tentu saja saya juga sedikit mengkerutkan dahi ketika membaca poin b-nya.
Terlebih lagi dilanjutkan dengan ayat 34 yang berisi:
(1)
Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil
hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan: a. usia kehamilan sesuai dengan
kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan,
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.
Tilik punya tilik ternyata PP No. 61
2014 tersebut merupakan perpanjangan tangan dari UU 36/2009 pasal 75 ayat 1
yang menyebutkan, “Setiap orang dilarang
melakukan aborsi. Kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.” Bahkan
Menteri Agama, Lukman Hakim Syarifuddin, mengatakan bahwa aborsi itu tidak
melanggar agama dan sudah sesuai dengan fatwa MUI. “Tetapi tetap harus melewati beberapa syarat dari MUI yaitu sebelum
janin memiliki ruh,”katanya.
Namun disisi lain Komisi
Perlindungan Anak dan Ibu menyatakan bahwa jangan sampai PP ini bertentangan
dengan Pasal
4 UU Perlindungan Anak berbunyi: “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.” Isi pasal ini kemudian ditegaskan kembali oleh komisioner KPAI bidang
kesehatan, Titik Haryati. Menurut Titik,
berapa pun usai janin dalam kandungan sudah melakukan proses pertumbuhan.
"Sudah ada pertumbuhan jiwa dan roh," ujarnya. Karena itu, apabila
melakukan aborsi sama saja dengan membunuh. "Membunuh proses pertumbuhan
janin," kata Titik. (Tempo, Kamis
140814).
Dan memang, menurut yang saya pelajari, janin diusia
40 hari (4 minggu) sudah masuk pada tahap embrio. Dan embrio itu terbentuk
sudah melalui beberapa fase dari pelepasan ovum, penebalan dinding rahim,
pembentukan zigot sampai proses pembelahan dan terbentuknya embrio. Maka
sebenarnya proses pengguguran dimasa itu akan dapat melukai sang ibu. Bayangkan
saja, memaksa janin yang sudah mulai berkembang untuk meluruh kembali. Bagi
para wanita yang mengalami menstruasi, Anda saja terkadang tidak dapat menahan
rasa sakit ketika kedatangan tamu bulanan itu. Apalagi mengeluarkan secara
paksa. Itu namanya menyiksa diri. Dan juga, siapa yang bisa jamin kapan ruh itu
ditiupkan?
Komisioner KPAI Bidang Hak Asasi Manusia khususnya
pada anak, Rita Pranawati juga mengatakan aborsi tidak serta merta dilakukan
karena calon ibu mengalami trauma dan dampak psikologis akibat peristiwa yang
menyakitkan, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi si janin selama
kehamilan dan ketika lahir kelak. "Justru
di sini pemerintah mengambil peran dalam hal ini kementrian kesehatan dan
perlindungan perempuan untuk melakukan advokasi dan pendampingan secara terus
menerus terhadap korban perkosaan dan keluarganya untuk perlahan-lahan
menghilangkan trauma dan menerima kehamilan sebagai pemenuhan hak asasi manusia
untuk lahir," kata Rita. (INILAHCOM,
Selasa 120814). Yaaap, exactly right! Seharusnya kita bisa berfikir sepeti
ini!
Selain itu menurut saya, PP ini khususnya pasal 31
ayat 1 poin b akan menimbulkan masalah baru. Yang awalnya PP ini dibuat untuk
melindungi wanita (katanya), malah akan membuat hubungan diluar perkawinan
meningkat hebat. Bagaimana tidak! Setelah memasang iklan kalau HIV dapat
dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi, lalu sekarang diberlakukan bahwa
korban perkosaan dapat aborsi. Bukankah ini malah memudahkan para remaja dalam
berlaku maksiat?
Jika dipikirkan lebih matang, jika janin dalam rahim
dibunuh, apakah hati sang ibu yang menggugurkan akan menjadi bahagia? Apakah
noda yang pernah membekas akan sembuh total? Jika hanya memikirkan pandangan
manusia, tentu saja aborsi menjadi impian para ibu yang tidak menginginkan
janinnya dengan mengharapkan nama baik tetap terjaga. Namun, sebagai manusia
ber-Tuhan, bukankah membunuh janin juga akan menjadi beban tersendiri karena
harus dipertanggung jawabkan dihadapanNya? Think again!
Walaupun demikian, saya bukanlah ahli fiqh yang bisa
mengatakan ini halal dan itu haram. Yuuk kita lihat apa kata empat mazhab
tentang menggugurkan janin.
Hukum Pengguguran Janin Sebelum
Peniupan Ruh
Beberapa madzhab fiqh
berselisih pendapat tentang hukum menggugurkan janin yang usianya belum
mencapai empat bulan atau belum ditiupkan ruh kepadanya. Banyak sekali
perbedaan pendpat yang ada di antara madzhab-madzhab itu, bahkan antar ulama’
dalam satu madzhab pun juga berselisih pendapat yang ada , hingga kami melihat
adanya banyak pendapat di dalam setiap madzhab. Mungkin yang menyebabkan adanya
perbedaan madzhab itu adalah tidak adanya batasan tertentu untuk berpendapat
dalam madzhab-madzhab tersebut, apalagi seperti yang saya sebutkan, tidak
adanya nash-nash syari’at yang secara langsung membahas masalah ini.
Di dalam bagian ini, kita
akan mengemukakan pendapat-pendapat setiap madzhab dan menunjukkan pendapat
mana yang lebih kuat:
Madzhab Hanafi
1.
Para fuqaha dari madzhab Hanafi membolehkan pengguguran
kandungan janin sebelum peniupan ruh, jika mendapat izin dari pemilik janin,
yaitu kedua orang tuanya. Kebanyakan argumen yang mereka kemukakan tentang
bolehnya menggugurkan janin sebelum peniupan ruh ini, karena senelum peniupan
ruh, belum terjadi penciptaan apapun pada janin, baik sebagian atau
keseluruhan. Dan munculnya gambaran yang sempurna pada janin menunjukkan bahwa
janin tersebut telah ditiupkan roh kepadanya. Ibnu al-Hammam berkata, “Bolehkan
menggugurkan janin setelah kehamilan?Diperbolehkan selama belum terbentuk apa
pun pada janin.” Kemudian di tempat lain beliau berkata, “Hal itu tidak terjadi
kecuali setelah janin berusia seratus dua puluh hari, karena pada saat itu
penciptaan telah sempurna dan siap ditiupkan roh. Jika tidak demikian, berarti
pendapat mereka salah. Karena penciptaan benar-benar telah terjadi dan dapat
disaksikan dengan indera sebelum fase ini.” (Syarh Fath al-Qadir, juz. II, hal.
495.)
Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha madzhab
ini berkata, “Diperbolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih masih
dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota
badannya. Mereka menetapkan menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah
setelah janin berusia seratus dua puluh hari. Mereka membolehkannya sebelum
waktu itu, karena janin itu belum menjadi manusia.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz.
I, hal. 302). Kemudian Ibnu Abidin mengatakan, “Tetapi pendapat ini
dipermasalahkan di dalam kitab al-Bahr, bahwa pembentukan janin telah terjadi
sebelum fase itu dan dapat disaksikan dengan jelas serta selaras dengan
beberapa riwayat yang shahih, “ Jika janin telah melalui dua kali empat puluh
hari (80 hari) maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya lalu membentuknya,
menciptakan pendengaran, penglihatan, dan kulitnya,” dan ini juga sesuai dengan
apa yang ditemukan oleh para dokter.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. I, hal. 302).
Dari beberapa teks fiqh di atas, tampaklah
bahwa pada hakikatnya madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan sebelum
peniupan ruh dan sebelum pembentukan dan pencipataan menurut sebagian mereka.
Sekalipun mereka salah dalam menetapkan awal waktu penciptaan, namun pendapat
menera saling membenarkan satu sama lain.
Tampak pula bahwa para fuqaha madzhab
Hanafi ini membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh baik itu
karena ada halangan ataupun tidak. Mereka telah mengungangkapkan masalah ini
secara muthlak tanpa embel-embel. Akan tetapi mereka mensyaratkan kebolehannya,
yaitu tidak melanggar hak kedua orang tuanya, artinya tidak boleh bagi orang
luar untuk menggugurkan kandungan seorang isteri kecuali atas izinya dan izin
suaminya. Karena bila itu dilakukan berarti telah melakukan penganiayaan kepada
sang ibu, sehingga yang berangkutan bisa dihukum dengan hukuman yang ditetapkan
oleh hakim namun tdak harus menggantinya dengan budak. Karena penggantian
dengan budak tidak diwajibkan kecuali bila seorang menggugurkan janin yang
sudah ditiupkan ruh kepadanya. Begitu juga jika isteri menggugurkan janin tidak
seizing suaminya, maka dia berdosa dan harus memberi ganti rugi, karena suami
juga mempunyai hak terhadap janin tersebut walaupun belum ditiupkan ruh
kepadanya. Akan tetapi pengharaman di sini bukannya karena membunuh janin itu
sendiri, melainkan karena melanggar hak orang lain tanpa seizinnya. (Hasyiyah
Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).
2.
Ibnu Abidin menukil dari beberapa ahli fiqh dalam
madzhab Hanafi, bahwa mereka mengharamkan pengguguran kandungan sebelum
peniupan ruh, karena jani pada masa ini merupakan bakal manusia yang nantinya
akan menjadi manusia atas kehendak Allah. Seperti seorang yang sedang ihram, ia
tidak boleh memecahkan telur binatang buruan dan bila itu dilakukan, maka tetap
akan mendapatkan hukuman, karena telur itu bakal binatang buruan. Begitu juga
orang yang merusak bakal manusia. Mereka mengatakan, “Saya tidak mengatakan
bahwa seorang ibu yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh itu tidak
berdosa, tetapi dosa yang diterimanya tidak sebesar dosa yang diakibatkan pengguguran
janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya.” Namun demikian, kelompok ini
membolehkan pengguguran kandungan karena adanya alas an yang diterima. Di
antara udzur (alas an) yang bisa diterima itu adalah terputusnya susu ibu
setelah muncul kehamilan, dan kedua orang tua bayi itu tidak mampu
menyusukannya kepada orang lain sehingga takut anaknya mati. “ (Hasyiyah Ibnu
Abidin, juz. VI, hal. 591).
3.
Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa
menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh hukumnya boleh tetapi makruh.
Karena setelah ziqot menempel pada dinding rahim, dia adalah hidup.” (Hasyiyah
Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).
Madzhab Maliki
Para ulama madzhab Maliki berselisih
pendapat tentang hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu
bisa kita klasifikasi sebagai berikut.
1.
Para ulama mereka mengharamkan pengguguran kandungan
setelah air mani berada di dalam rahim. Syaikh Ahmad ad-Dardir berkata, “Tidak
boleh mengeluarkan mani yang telah tertanam di dalam rahim walaupun sebelum
berusia empat puluh hari. “(Asy-Syarh al-Kabir Ma’a Hasyiah ad-Dasuqi, juz. II,
hal. 267).
Syaikh Alaisy berkata, “Jika rahim telah
menangkap air mani, maka tidak boleh bagi suami isteri ataupun salah satu dari
mereka untuk menggugurkan janinnya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah
penciptaan. “ (Fath al-Ali al-Malik, juz. I, hal. 399). Dinukil dari pendapat
Ibnul Arabi: Seorang anak mempunyai tiga keadaan:
Pertama, keadaan sebelum
adanya pencampuran antara sperma dengan ovum yang digugurkan dengan melepasnya
di luar rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.
Kedua, keadaan setelah
rahim nenangkap sperma, maka pada saat itu tidak boleh seeorang pun untuk
menggugurkannya. Seperti yang dilakukan oleh para pedagang murahan yang menjual
ramuan-ramuan tertentu yang jika diminum, ziqot itu akan keluar dari rahim,
sehingga gugurlah kandungannya.
Ketiga, keadaan setelah
janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan ruh, maka ini lebih tidak
diperbolehkan untuk digugurkan. Adapun setelah peniupan ruh, maka tidak
diperselisihkan lagi, ini termasuk pembunuhan. (Fath al-Ali al-Malik, juz. I,
hal. 400; Hasyiyah ar-Rahwani ala Syarh az-Zarqani, juz III, hal. 264).
Kemudian Syaikh Alaisy berkata; “Jika saya
berpijak dari pendapat al-Qadhi al-Muhaqqiq Abu Bakar di atas, maka saya tahu
secara pasti bahwa kesepakatan suami isteri untuk menggugurkan kandungan
hukumnya haram, tidak diperbolehkan dalam bentuk apapun. Dan Ibu yang
menggugurkannya harus mengganti dengan budak dan mesti diberi peralatan.
Kecuali jika suaminya yang menanggung dalam membebaskan budak tersebut.” (Fath
al-Ali, al-Malik, juz. II, hal. 400).
Walaupun demikian, dari tulisan para ulama
madzhab Maliki yang mengharamkan pengguguran kandungan dari fase perkembangan
ke fase berikutnya di atas dapat dipahami bahwa keharamannya itu
bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan umur janin hingga akhirnya
pengguguran kandungan itu dianggap pembununuhan setelah peniupan ruh. Ini bisa
kita lihat dari penjelasan Ibnul Arabi di atas, begitu juga yang dikatakan oleh
Ibnul Jauzi berikut; “Jika sperma telah berada di dalam rahim, maka tidak boleh
dikeluarkan dan lebih tidak boleh lagi ketika janin sudah ditiupkan ruh
kepadanya.” (Fath al-Ali, al-Malik, juz. II, hal. 400). Begitu juga istihsan
yang dikeluarkan oleh Ibnu Rusyd al-Maliki tentang tidak wajibnya mengganti
dengan budak bagi orang yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh. Dia
berkata; “Mereka berselisih pendapat dalam masalah ini, yaotu tentang ciptaan
yang harus diganti dengan budak. Imam Malik berkara, “Setiap mudhgah (segumpal
daging) atau ‘alaqah (segumpal darah) yang digugurkan dan diketahui bahwa dia
bakal menjadi anak, maka pelakunya harus menggantinya dengan budak,” dan Imam
Syafi’i berkata, “Tidak diwajibkan mengganti apa-apa hingga janin mempunyai
bentuk,”. Dan yang paling benar adalah diwajibkan mengganti dengan budak bila
menggugurkan janin yang telah ditiupkan ruh.” (Bidayah al-Mujtahid, juz. II,
hal. 416).
2.
Sebagian fuqaha Malikiyah memakruhkan pengguguran
kandungan setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia empat puluh
dari dan menharamkannya sesudah itu. (asy-Syarh al-Kabir ma’a Hasyiyah
ad-Dasuqi, juz. I. hal. 267).
3.
al-Lakhami selah seorang ulama Malikiyah berpendapat,
bahwa menggugurkan janin sebelum berusia empat puluh hari hukumnya boleh dan
tidak harus mengganti apa-apa. (Hasyiyah ar-Rahwani ala Syarh az-Zarqani, juz.
III. Hal. 264 dan Fath al-Ali, al-Malik, juz. I, hal. 399.
4.
Sebagian fuqaha Malikiyah berpendapat, diberi rukhshah
(keringanan) untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu
hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut akan dibunuh jika
ketahuan bahwa dirinya hamil. (Fath al-Ali, juz. I, hal. 399).
Dari pendapat para ulama madzhab Maliki
ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran
kandungan jika janin telah berusia empat puluh hari. Sedangkan sebelum janin
berusia empat puluh hari, mayoritas ulama mereka mengharamkan, ada senagian
yang memakruhkan, al-Lakhami membolehkan, dan sebagian yang lain memberikan
rukhshah jika dilakukan sebelum peniupan ruh, jika janin itu merupakan hasil
dari hubungan zina.
Madzhab Syafi’i.
Para fuqaha madzhab Syafi’i, berselisih
pendapat dalam menetapkan hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh,
yang dapat kita klasifikasikan menjadi beberapa pendapat berikut:
1.
Pendapat pertama –yang paling dipegang oleh madzhab
ini-, bahwa menggugurkan kandungan selama janin belum ditiupkan ruh kepadanya
adalah boleh. Syaikh Qalyubi berkata, “Ya, boleh menggugurkannya walaupun
dengan obat sebelum peniupan ruh pada janin, sebagai sanggahan atas pendapat
al-Ghazali. “ (Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Muhalla ala al-Minhaj, juz. III,
hal. 159, 160). Ar-Ramli berkata di dalam Nihayah al-Muhtaj, setelah
menyebutkan pendapat al-Ghazali yang mengharamkan pengguguran kandungan, “Yang
benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara muthlak dan dibolehkan
sebelumnya.” (Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz. VIII, hal. 416).
2.
ar-Ramli juga sampai kepada suatu kesimpulan, yang
akhirnya menjadi pegangan bagi madzhab ini, yaitu memakruhkan pengguguran janin
sebelum peniupan ruh dan mengaharamkannya setelah memasuki waktu yang telah
mendekati peniupan ruh. Karena sulitnya mengetahui secara pasti waktu peniupan
ruh tersebut, maka diharamkan penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan
ruh untuk berjaga-jaga, seperti ketika peniupan ruh dan sesudahnya. Di dalam
an-Nihayah, dia mengatakan, “Telah dikatakan bahwa sejak peniupan ruh,
sesudahnya dan hingga dilahirkan –tidak diragukan lagi- adalah haram hukumnya.
Adapun sebelum peniupan ruh tidak diharamkan, sedangkan waktu yang mendekati
waktu peniupan ruh, diperselisihkan antara boleh dan haram, namun yang rajih
(kuat) adalah diharamkan, karena itu adalah waktu yang mendekati waktu
keharamannya.” (Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz. VIII, hal. 416).
Mungkin pendapat ini adalah pendapat yang ar-Ramli sendiri concong kepadanya,
dan bukan pendapat yang dianut di dalam madzhab. Jika tidak tentu dia sudah
mengatakan pada saat itu pula setelah menukil pendapat al-Ghazali dan
pendapat-pendapat ulama lain, “Pendapat yang benar, diharamkan setelah peniupan
ruh secara muthlak dan diperbolehkan sebelumnya.” Dari sini, maka jelaslah
bahwa pendapat yang rajih (kuat) menurut madzhab ini adalah pengguguran janin
sebelum peniupan ruh diperbolehkan, sedangkan ketika usia janin sudah mendekati
waktu peniupan ruh makruh hukumnya, sedangkan setelah peniupan ruh haram
hukumnya. Demikian yang dijelaskan di dalam kitab Hasyiyah al.Jumal. (Hasyiyah
al-Jumal ala Syarh al-Manhaj).
Mungkin dari pendapat inilah Syaikh Qalyubi
menukilnya dari beberapa ulama madzhab Syafi’i, bahwa menggugurkan kandungan
pada masa ‘alaqah (segumpal darah) dan nutfah (ziqat) diperbolehkan dan
diharamkan jika setelah itu, seperti yang dikatakan di dalam Hasyiyahnya.
Al-Karabisi berkata, “Saya bertanya kepada Abu Bakar Sa’id al-Furati tentang
seorang laki-laki yang memberi minum seorang perempuan untuk menggugurkan
kandungannya, lalu beliau menjawab, “Selama janinnya masih dalam keadaan ziqot
atau segumpal darah, insya Allah diperbolehkan.” (Hasyiyah Qalyubi ala Syarh
al-Muhalla ala Minhaj, juz. V, hal. 490).
Demikian juga al-Bayjirami menukil dari Abu
Ishaq al-Marwazi, bahwa ia berkata, “Diperbolehkan menggugurkan janin yang
masih berupa ziqot dan segumpal darah. Pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah.”
(Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, juz. III, hal. 303.
Berdasarkan pendapat ini, maka pengguguran
kandungan yang sudah menjadi mudgah (segumpal daging) atau pada empat puluh
hari sebelum peniupan ruh, hukumnya haram. Pembahasan inilah yang dimaksudkan
oleh ar-Ramli dalam pernyataannya.
3.
Imam Abu Hamid al-Ghazali mengharamkan pengguguran
janin pada semua fase perkembangan kehamilan dan dengan terus terang dia
mengatakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelum peniupan
ruh, haram untuk digugurkan. Kita sebutkan di sini argumennya di dalam kitab
Ihya’ Ulumiddin untuk menambah kesempurnaan pemahaman. Setelah membolehkan
penumpahan air mani di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, dia
berkata; “Penumpahan air mani di luar rahim bukan termasuk pengguguran dan
pembunuhan, karena pengguguran adalah kejahatan terhadap wujud manusia dan
wujud ini bertingkat-tingkat. Tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air
mani tumpah di dalam rahim dan bercampur denga ovum wanita sehingga siap
menerima kehidupan. Merusak wujud ini adalah kejahatan dan jika sudah menjadi
segumpal darah dan segumpal daging, maka kejahatan itu lebih keji, dan jika
telah ditiupkan ruh dan telah menjadi ciptaan yang sempurna, maka kejahatan itu
bertambah keji lagi, dan kejahatan terkeji dalam hal ini adalah jika melakukan
pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan. Menurut kami, bahwa sebab awal
terjadinya wujud ini adalah karena masuknya air mani ke dalam rahim, bukan
karena dia keluar dari saluran kencing. Karena anak tidak tercipta dari air
mani laki-laki semata, melainkan dari kedua suami istri. Maka bagaimana pun,
ovum perempuan merupakan salah satu factor bagi terjadinya wujud ini, sehingga
kedua air itu (sperma dan ovum) secara hukum berjalan seperti jalannya ijab dan
qabul di dalam akad jual beli. Barangsiapa yang melakukan jual beli, kemudian
dia menarik kembali tawarannya sebelum terjadi penerimaan tawaran, maka hal itu
tidak termasuk merusak akad jual beli, namun jika akad ijab dan qabul telah terjadi,
maka jika digagalkan berarti telah merusak akad, membetalkan dan
menggugurkannya. Begitu juga dengan air mani di dalam kantong sperma tidak akan
menjadi anak, begitu juga setelah keluar dari saluran kencing, selama belum
bertemu ovum wanita. Ini adalah analogi yang jelas.” (Ihya Ulumiddin, juz II,
hal. 53).
Pendapat yang oleh al-Ghazali ini
berpengaruh terhadap sebagian ulama Syafi’iyah yang datang sesudah al-Ghazali.
Mungkin apa yang saya nukil dari ar-Ramli di atas yang memakruhkan pengguguran
kandungan empat puluh hari sebelum peniupan ruh itu, merupakan salah satu dari
adanya pengaruh tersebut. Begitu juga yang dinukil oleh Qalyubi dari beberapa
ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan pengguguran janin pada fase ziqot dan
segumpal darah, dan mengharamkannya setelah itu, atau pada fase segumpal
daging, karena dekatnya masa itu dengan masa peniupan ruh.
4.
Mungkin perlu disebutkan bahwa tidak ada satu pun ulama
madzhab Syafi’i yang melarang untuk menggugurkan janin sebelum peniupan ruh
jika kehamilan itu merupakan hasil dari zina yang pada wanita. (Nihayah
al-Muhtaj, juz. VIII, hal. 416; Hasyiyah al-Jumal, juz. V, hal. 491; Tuhfah
al-Habib, juz III, hal. 303).
Akan tetapi pendapat ini dianggap sebagai
pendapat yang kuat di dalam madzhab ini, sehingga mereka membolehkan secara
muthlak dan apabila ada udzur. Akan tetapi mungkin tujuan para ulama itu adalah
mensyaratkan bagi orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan dari ulama
madzhab ini, bahwa memang pengguguran itu tidak diperbolehkan jika tidak ada alas
an yang rasional, namun jika ada lasan yang rasional, maka semuanya
membolehkan. (Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, juz. III, hal. 303.
Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, ada beberapa
pendapat tentang hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh.
1.
Pendapat mereka secara umum dalam madzhab, membolehkan
pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin,
yaitu fase ziqot, yang usianya maksimal empat puluh hari dan setelah empat
puluh hari tidak boleh digugurkan.
Sebagian kelompok dari ulama mereka
mengatakan bahwa boleh meminum obat untuk menggugurkan ziqot. (al-Inshaf, juz.
I, hal. 386, al-Furu’, juz. VI, hal. 191). Ibnu Rajab al-Hambali berkata,
“Sahabat-sahabat kami secara terus terang mengatakan, bahwa jika janin telah
menjadi segumpal darah tidak diperkenankan bagi wanita untuk menggugurkannya,
karena dia sudah menjadi anak, lain halnya dengan ziqot, karena dia belum
menjadi anak.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 46).
2.
Ibnul Jauzi berpendapat mengharamkan pengguguran
kandungan sebelum peniupan ruh di semua fase perkembangan janin. Demikian yang
dinukil al-Mawardi darinya.” (al-Inshaf, juz. I, hal. 386).
3.
Sebagian ulama’ Hambali membolehkan pengguguran
kandungan sebelum peniupan ruh secara muthlak tanpa mensyaratan fase-fase
tertentu. Hal ini dinukil oleh penulis kitab al-Furu’ dari Ibnu Aqil dan ia
berkata seperti itu. (al-Inshaf, Juz. I, hal. 386). Di antara ulama madzhab
Hambali yang juga berpendapat seperti itu adalah Yusuf bin Abdul Hadi yang
berkata, “Boleh meminum obat untuk menggugurkan janin yang sudah menjadi
segumpal daging.”
Well, beberapa pandangan telah kita buka
disini. Sekarang terserah pribadi masing-masing saja bagaimana ingin berpikir
dan bertindak. Hanya pesan saya, kita sebagai perempuan memang diamanahkan
untuk menjaga rahim kita dengan baik begitupun apa yang kita hasilkan dari
rahim tersebut. Maka, marilah kembali ke jalan yang baik dan benar. Perbanyak
menuntut ilmu terutama dalam hal keagamaan karena itu merupakan modal kita
dalam menjalani kehidupan.
Bagi para pejabat, saya hanya berharap
dapat membuat sebuah keputusan yang tidak akan menimbulkan masalah lain.
Satu-satunya hal yang ingin kita perbaiki di negeri tercinta ini adalah moral
manusianya, tidak terkecuali ibu dan bapak para pejabat negara. Karena
menduduki posisi di negara kita ini bukan hanya soal kepintaran akademik, tapi
juga harusnya karena kesholehan, kejujuran, dan kepiawaian berpikir dalam
menyelesaikan permasalahan bangsa melalui prespektif agama.
Sekian dan terima kasih.
Referensi